Ogan Ilir, Sumsel — Di balik senyum bayi baru lahir itu tersimpan luka yang belum usai. Asiah (30), warga Desa Belanti, Kecamatan Tanjung Raja, kembali memasuki babak hidup baru: ia telah melahirkan seorang putra sehat yang kini berusia satu minggu. Namun kebahagiaan itu tercampur getir, luka dua tahun lalu saat anak pertamanya, Muhammad Agustus (Alm), meninggal pada usia 3 hari akibat dugaan malpraktik bidan desa, masih menganga. Kasus yang dilaporkan ke polisi sejak 2023 hingga kini belum menemukan titik terang.
“Andai anak saya dulu tidak diambil ‘stempel darah’ di lututnya, mungkin dia masih hidup. Sekarang saya tidak akan pernah memberi izin lagi kalau ada yang mau coba-coba pada anak saya,” ujar Asiah tegas, matanya menahan bekas duka yang tak kunjung kering.
Duka Lama, Janji Belum Terpenuhi,
Kisah tragis itu bukan kabar biasa — keluarga yakin tindakan pengambilan darah oleh seorang bidan desa berujung pada perdarahan hebat dan akhirnya kematian bayi mereka pada 2023. Laporan resmi sudah masuk ke Polres Ogan Ilir, namun meski sudah dua tahun berlalu dan saksi sempat dimintai keterangan ulang pada Mei 2025, keluarga tidak mendapat kepastian hukum.
“Kami dipanggil untuk memberi keterangan, lalu senyap. Kenapa keadilan untuk rakyat kecil selalu berjalan lambat atau bahkan dibungkam?” kata Asiah, penuh pertanyaan yang menggema ke ruang-ruang publik.
Bukti Hidup yang Menyakiti, Kelahiran bayi laki-laki yang lahir sehat lewat dukun beranak menjadi bukti gamblang menurut keluarga: metode yang dipersoalkan pada bayi pertama-lah yang diduga menjadi penyebab tragedi. Kehadiran bayi sehat ini menjadi pedang bermata dua — sekaligus penghibur, sekaligus pengingat pahit bahwa keadilan belum ditegakkan.
Seruan untuk Aparat Penegak Hukum, Kasus ini bukan sekadar persoalan medis; ini ujian bagi sistem hukum dan perlindungan publik. Bila laporan dugaan malpraktik ditunda atau diabaikan, pesan yang tersisa pada masyarakat kecil adalah: hukum tidak berpihak.
Keluarga mendesak Polres Ogan Ilir untuk memberi status jelas atas laporan, mengusut tuntas dugaan malpraktik, dan menetapkan tersangka bila bukti mendukung.
Publik diimbau mengawasi proses hukum, menuntut transparansi, dan mendorong agar kasus ini tidak hilang ditelan waktu.
“Kami akan terus bersuara sampai pelaku diproses. Bukan hanya untuk anak saya, tapi untuk semua anak di desa ini yang berhak mendapatkan keselamatan saat dilahirkan,” tegas Asiah.
Ujian Kemanusiaan dan Kedaulatan Hukum,
Kisah Asiah menyerukan dua tuntutan mendasar: kemanusiaan — supaya nyawa bayi dihargai; dan kedaulatan hukum — supaya suara rakyat kecil didengar, bukan ditenggelamkan. Negara yang bermartabat harus menuntaskan setiap dugaan pelanggaran yang merenggut nyawa.
Akhir Kata, Kepada Publik dan Aparat,
Kepada Polres Ogan Ilir: jangan biarkan kasus ini menjadi saksi bisu kegagalan penegakan hukum. Kepada publik: awasi dan dorong proses hukum agar berjalan transparan. Keadilan bukan barang mewah — ia hak setiap anak, setiap ibu, setiap keluarga yang menaruh harap pada negara. ***PPWI-OI